Setelah senja turun dan langit mulai redup di Roemah Oei, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat berikutnya. Masih dipandu Mas Agik, kami naik kendaraan menembus gang-gang kecil Lasem yang mulai sepi. Tujuan kami malam itu: Museum Nyah Lasem.
Kalau tidak diberi tahu Mas Agik, mungkin kami akan ragu. Rumah itu tak punya papan besar, hanya bangunan tua dengan tembok putih pudar dan pintu kayu besar. Sedikit lampu kuning menyala di depan, temaram, seperti tak mau mengganggu malam. Tapi justru di situlah letak pesonanya. Rumah itu tampak seperti menyimpan sesuatu---bukan sekadar benda, tapi cerita.
Masuk ke halaman, suasananya langsung berubah. Hening, tapi bukan hening yang menyeramkan. Justru terasa hangat, seperti masuk ke ruang kenangan. Di halaman ada beberapa pohon---saya sempat melihat pohon mangga dan beberapa lainnya yang rindang. Tidak besar, tapi cukup membuat rumah ini terasa hidup.
Sekilas, rumah ini terlihat lebih orisinal dibanding Roemah Oei. Di beranda, ada kuda-kuda kayu bergaya Tionghoa, seperti kelenteng. Warna hijau mendominasi kusen dan daun pintu, sementara dindingnya putih. Wajah tua yang tak malu menua.
Kami makan malam di beranda depan. Menunya khas peranakan Tionghoa, pindang sapi dan es teh atau teh hangat. Meja dan kursinya tua, tapi tetap nyaman.
Dari dapur belakang, aroma masakan tercium samar, bercampur dengan bau kayu tua. Langit-langitnya tinggi, ditopang balok kayu besar. Lampu-lampu kuning redup menggantung di atas kepala, menciptakan bayangan panjang yang membuat segalanya terasa melankolis.
Di tengah makan malam, kami menyadari suasana yang berbeda. Bukan hanya kami yang ada di situ. Beberapa anak muda tampak sibuk mengatur laptop, kabel, proyektor, dan layar. Rupanya malam itu sedang berlangsung Sanggar Kerja P3KBCB 2025 dan Residensi Claudine Salmon. Sebuah acara pelestarian budaya dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia--Prancis.
Kami tidak ikut acaranya. Hanya numpang makan malam. Tapi suasananya begitu terasa. Rumah tua ini mendadak hidup---bukan oleh suara, tapi oleh makna. Kami makan sambil sesekali melihat ke arah layar Zoom yang menyala. Beberapa peserta duduk menghadap kamera. Dinamis, tapi tetap hening. Seperti Lasem.

Setelah makan malam, Mas Agik mengajak kami melihat isi museum. Di salah satu sisi dinding, ada instalasi besar bertuliskan "Memori Kolektif Bangsa". Di bawahnya, piagam dari Arsip Nasional Republik Indonesia.
Ternyata, arsip jaringan dagang batik Lasem tahun 1900--1942 yang disimpan di sini telah ditetapkan sebagai bagian dari memori kolektif bangsa. Arsip itu terdiri dari 192 lembar dokumen dalam tiga bahasa: Melayu-Tionghoa, Belanda, dan Mandarin. Isinya bukan sembarang tulisan. Di dalamnya ada surat-surat dagang, kartu pos, pembukuan, hingga foto-foto yang merekam denyut perdagangan batik Lasem di masa kolonial.
Saya membaca sekilas keterangan di dinding. Lasem---yang dijuluki Tiongkok Kecil---pernah menjadi pusat produksi batik terbesar di Hindia Belanda, bersama Pekalongan dan Solo. Jaringannya luas, menjangkau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai Singapura dan Malaysia. Arsip itu merekam bukan hanya transaksi ekonomi, tapi juga hubungan antar komunitas, budaya, bahkan politik.
Saya terdiam di depan
tulisan ini:
"Jika arsip ini hilang, maka kita kehilangan bukti penting perjalanan sejarah Indonesia yang plural."
Betul. Lasem tidak pernah bicara dengan suara keras. Tapi ia menyimpan, merawat, dan menjaga dengan diam-diam.
Mas Agik kemudian bercerita bahwa rumah ini mungkin lebih tua dari Roemah Oei. Dibangun sekitar pertengahan abad ke-18. Tata ruangnya khas rumah Tionghoa lama: beranda depan, halaman tengah, dan rumah utama di belakang yang kini jadi ruang museum.
Bagian dalam rumah ini dominan kayu. Lantainya berupa gladhak (papan kayu tebal khas rumah Jawa), dindingnya gebyok jati. Kami melewati ruang tengah yang dulunya tempat meja pemujaan. Di sisi kanan-kiri ada kamar tidur. Rumah ini masih kokoh, walau sudah ratusan tahun.
Rumah ini milik Soe San Tio (Afnan Soesantio), keturunan dari Tio Oen Hien dan Go Radjin Nio. Sekarang didedikasikan untuk mengenang kehidupan para nyonya di Lasem---itulah asal nama "Nyah Lasem".
Sebelum pulang, saya sempat kembali melongok ke beranda. Laptop masih menyala, anak-anak muda masih sibuk mengatur jalannya Zoom. Generasi baru sedang berbicara, di rumah lama yang penuh memori.
